5 November 2014

Apa Judulnya ?

Tak tahu harus menuliskan judul apa tentang tulisan ini, memikirkan nasib suatu bangsa adalah hal yang sangat sering kulakukan. Apalagi terjun di dunia organisasi sedari SMP sudah ku jalani dan pasti banyak pengalaman yang sebenarnya belum bisa tertuang di dalam sebuah tulisan. Ada sebuah harapan besar yang akan kulakukan saat ini. Walaupun sedari dulu aku tak pernah terpikirkan bahwa hidup itu ternyata butuh perjuangan yang teramat sulit. Dan akan banyak menemui persimpangan jalan serta terkadang jalan yang buntu untuk dilalui. Ya itu-lah hidup. Sejak naik dibangku kelas empat Sekolah Dasar memang saat itu aku belum tahu apa - apa. Seorang Ayah yang sering ku panggil Bapak telah meninggalkan ku selama - lama nya. Hanya kasih sayang seorang Ibu -lah yang membimbing ku hingga saat ini. Naik ke kelas Lima SD rupanya banyak orang yang berempati dan rupanya sayang kepada ku. Pada saat itu Abang-ku duduk di Kelas Enam SD. Ada sebuah pekerjaan yang asyik kami lakukan saat itu. Yaitu membuka dan mengkunci seluruh ruangan kelas di SD Negeri 132402 Jl.MT.Haryono Selat Lancang. Setelah Abang- ku melanjutkan ke SMP ternyata warisan mengunci kelas ini diturunkan kepada ku. Cukup lama bergelut dengan puluhan kunci yang setiap pagi harus dibuka dan siang hari harus ditutup. Pekerjaan mengunci kelas yang ku lakukan tak banyak teman-ku yang mengetahuinya. Pada saat itu di akhir bulan merupakan hal yang sangat ditunggu - tunggu. Dalam satu bulan Ibu Guru yang memberikan gaji untuk tugas membuka dan mengunci kelas ini tak tanggung - tanggung. Beliau memberikan Rp.30.000 untuk satu bulan gaji. Uang ini cukup besar bagi kami waktu itu. Ketika pulang sekolah dan uang itu didapat biasanya aku langsung memberikan uang itu kepada Ibu ku di rumah yang biasa ku panggil Omak. Setelah mendapatkan uang itu, kebetulan uang gaji yang ku peroleh adalah uang ribu - ribuan dan sering sekali aku menyerakkan uang itu dihadapan Omakku. Agar Omakku merasa bahagia. Bayangkan ada 30 lembar uang seribuan yang bertaburan. Cukup banyak memang. Sambil memberikan suara cihhhuuuuyyy. Ya itu - lah hasil kerja keras ku walaupun terkadang Omak tak sanggup untuk mengambil uang itu. Dia langsung bilang  " Di tabung sajo duit tu, nanti habis". Dan pada akhirnya memang belum sampai satu minggu uang itu sudah Habis. Yang ku ingat uang setiap bulan kudapat dari gaji ku membuka dan mengunci kelas itu adalah hanya untuk jajan. Hanya ada satu yang berwjud benda ku beli kan pada saat itu, yaitu baju bola dan sepatu bola yang ku beli di Toko Serba Jadi di Jalan Asahan.
Selain mengunci kelas, adalagi penghasilan tambahan yang kudapat yaitu menjual keripik Ubi Sambal yang di buat oleh kakak ku yang paling Tua dan paling besar (karena pada saat itu dialah di dalam kelaurga kami yang paling Gendut). Keripik ubi yang kujual pada saat itu berharga Rp.250, setiap penjualan satu bungkus keripik ubi aku mendapatkan untung Lima puluh rupiah. Rata - rata penjualan  satu hari di Sekolah ku sampai 25 - 30 Bungkus per hari. Belum lagi beasiswa yang kudapatkan pada saat itu. Sampai Sekarang Aku tidak tahu apa nama beasiswa yang diberikan kepada ku pada waktu aku Sekolah Dasar. Yang jelas beasiswa itu bukan-lah beasiswa berprestasi, soalnya sejak kelas satu sampai kelas enam aku tak pernah mendapat rangking satu. Tetapi pernah masuk kategori tiga besar. Karena waktu itu ada temanku bernama Indriani yang tak bisa dikalahkan kepintarannya. Dia selalu mendapat rangking satu dan sekarang sudah lulus di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Dan sudah bekerja di kementrian Keuangan di salah satu direktoratnya karena saya tidak tahu sekarang dia berada dimana. Beasiswa yang diberikan itu bisa jadi adalah beasiswa bagi siswa yang kurang mampu. Atau Bantuan buat siswa yang miskin, itu yang terus terpikirkan oleh ku.
Kemudian setelah tamat di Sekolah Dasar melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) nah inilah yang menjadi kontroversi. Oh iya sebelum masuk ke SMP sempat terjadi penggusuran Rumah kami oleh si pemilik tanah. sebab rumah yang kami tempati berpuluh - puluh tahun itu Hak Tanahnya bukan-lah milik kami. Melainkan kami menyewa tanah dan hanya bangunannya milik kami. Kebetulan si pemilik tanah itu mengingkan tanahnya dan hendak di jual karena beliau ingin pergi berhaji ke tanah suci jadi kami harus bergegas meninggalkan tanah itu alias digusur. Sempat ditawarkan kepada kami untuk membayari tanah tersebut, namun seingat saya pada saat itu Bapak saya sudah meninggal dan tak lama Bapak meninggal enam bulan berselang Nenek kami satu - satu nya juga meninggal. Jadi tidak ada uang untuk membayari tapak / tanah rumah itu. Alhasil dibongkarlah rumah berada di Jl.Tiung Kelurahan Perwira Kecamatan Tanjungbalai Selatan T.Balai Asahan itu. Sebenarnya tanah warisan peninggalan Bapak kami ada di Sijambi, namun karena kami masih bersekolah di sekitar Selat Lancang jadi Omak kami memutuskan untuk tinggal dan pindah ke rumah sewa Nek Butet. Nah pada saat bersamaan dibangunlah sebuah rumah disana (di Sijambi) di jual tanah sebagian untuk membangun rumah tersebut dan setelah jadi dua kakak dan satu abang ku tinggal di sana. Kira - kira selama kurang lebih 3 Bulan  kami menumpang di rumah sewa milik Nek Utet ini dan itu diberikan gratis oleh Nek Butet,  semoga Allah membalas semua jasa - jasa Nek Utet dan dilapangkan kuburan Suaminya serta diampuni dosanya.
Beranjak memasuki Sekolah Menengah Pertama yang menjadi kontroversi adalah pada saat itu rumah kami sudah berada di Sijambi atau batu lima jadi ada sekolah SMP Negeri 5 yang dekat dengan rumah itu. Namun karena rayon dari sekolah SD diharuskan masuk ke SMP Negeri 1 yang sangat jauh dari batu lima kira - kira 5 kilometer dan harus menggunakan Angkutan Umum/ Angkuatan Kota yang biasa kami sebut namanya mopen. Hal yang menjadi kendala adalah besarnya biaya jajan dan ongkos yang harus dikeluarkan untuk menuju sekolah ini. Tetapi Allah mempunyai rencana lain dan ada saja pertolongan dari Allah SWT. Begitu kelas satu SMP atau kelas Tujuh saya mendapatkan beasiswa kembali yakni dari Kantor Pos. 

0 komentar:

Post a Comment