12 June 2013

PERTANYAAN BESAR BUAT BUK MEGAWATI

Mengapa Pemakaman Almarhum Taufiq Kiemas Dipermasalahkan? 

Walaupun diawali dengan kata “kepedulian”, yang nyatanya kemudian lebih banyak berisi “pertanyaan besar”, tulisan-tulisan itu, saya rasakan sebagai pribadi, kurang menunjukkan empati. Empati terhadap keluarga yang baru saja ditinggal pergi selamanya salah satu anggota keluarganya.

Mencermati prosesi pemakaman jenazah Taufiq Kiemas, Majelis Mujahidin punya kepedulian dan mempertanyakan perlakuan Megawati terhadap jenazah suaminya.

Taufiq Kiemas meninggal dunia di Singapura, Sabtu 8 Juni 2013 di Singapore General Hospital, di usianya yang ke-70 tahun. Jenazah mendiang Ketua MPR Taufiq Kiemas itu, tanpa dibawa ke rumah duka, langsung dikebumikan di TMP Kalibata, di samping kuburan kedua orangtuanya. Sebelum dimakamkan di TMP Kalibata, jenazah Taufiq sempat disemayamkan dan dishalatkan beberapa saat di Bandara Halim Perdanakusuma.

Taufiq Kiemas adalah suami kedua Megawati. Suami pertamanya, Lettu (Penerbang) Surindro Supjarso, meninggal akibat kecelakaan pesawat di sekitar Pulau Biak, Papua.

Namun, dalam tradisi masyarakat Timur, terutama bangsa Indonesia yang beragama Islam, bilamana salah seorang keluarganya meninggal dunia, selalu disemayamkan di rumah duka, guna memberi kesempatan kepada kerabat, tetangga, menyampaikan belasungkawa atau dalam istilah Islam ta’ziyah ke rumah duka. Tujuannya, supaya para penta’ziyah dapat menshalati jenazah di rumah duka atau di masjid yang berdekatan dengan rumah duka.

Kebiasaan seperti ini dapat kita saksikan misalnya pada mendiang Presiden Soeharto, yang meninggal di RS Pertamina, kemudian dibawa ke rumah duka di Jalan Cendana, Jakarta, guna memberi kesempatan masyarakat untuk ta’ziyah dan shalat Jenazah.

Begitu juga Mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang meninggal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), kemudian disemayamkan di rumah duka Ciganjur, dan masyarakat datang berta’ziyah untuk shalat Jenazah.

Dalam agama Islam, menshalatkan jenazah seorang muslim adalah fardhu kifayah, yaitu kewajiban bersama yang dapat diwakili oleh sebagian orang sehingga sebagian lainnya gugur kewajibannya. Apabila tidak ada yang menshalati, seluruh umat Islam menanggung dosa. Ini sudah merupakan tradisi yang dihargai oleh masyarakat muslim Indonesia, mungkin juga oleh umat agama lain di Indonesia.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Malik bin Hubairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ فَيُصَلِّيْ عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوْفٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، إِلَّا أَوْجَبَ -وَفِيْ رِوَايَةٍ- إِلَّا غُفِرَ لَهُ

“Seseorang muslim yang meninggal dunia lalu dishalatkan oleh kaum muslimin sebanyak tiga shaf, maka yang meninggal itu diampuni dosanya.” (HR Abu Dawud 2/63, at-Tirmidzi 19/258, dan Ibnu Majah 1/454).

Adapun jenazah yang haram untuk dishalatkan dan didoakan adalah orang kafir, musyrik, dan munafiq. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ

“Wahai Muhammad, janganlah kamu menshalati jenazah seorang pun dari kaum munafik untuk selama-lamanya. Janganlah kamu berdiri di kubur orang munafik untuk mendoakannya. Mereka itu kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam kekafiran.” (At-Taubah, 9: 84).

Sedangkan Taufiq Kiemas dikenal sebagai muslim yang sudah haji, dan istrinya, Megawati, pun seorang muslimah yang sudah haji. Oleh karena itu kejadian yang kita saksikan terkait dengan perlakuan terhadap jenazah Taufiq Kiemas yang tidak disemayamkan di rumah duka terlebih dahulu tapi langsung dibawa ke kuburan menimbulkan pertanyaan besar dari masyarakat Indonesia, khususnya kaum muslim. Sebab bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, adalah hal yang aib manakala suatu keluarga yang tidak mensemayamkan anggota keluarganya yang meninggal di rumahnya sendiri.

Ada apa sesungguhnya di balik pemakaman jenazah Taufiq Kiemas? Apakah sikap Megawati yang tidak menyemayamkan jenazah suaminya di rumah duka disebabkan mengikuti prinsip efisiensi, yang selama ini menjadi doktrin kaum kapitalis? Bukankah kaum nasionalis di Indonesia dikenal anti kapitalisme? Apabila dihubungkan dengan tradisi masyarakat Timur, khususnya umat Islam bangsa Indonesia, maka perlakuan Megawati terhadap jenazah suaminya dipandang sebagai anomali atau hal yang aneh, karena meninggalkan kepatutan menurut adat dan ajaran agama.

Sebagai muslimah, sekalipun ketua partai nasionalis, seharusnya Megawati menghargai ajaran Islam yang mengajarkan supaya mengundang sebanyak mungkin orang yang ikut shalat Jenazah guna meringankan dosa di akhirat kelak. Tapi dengan tidak memberi peluang masyarakat muslim yang berdekatan dengan rumah Megawati untuk beramai-ramai menshalatkan jenazah Taufiq Kiemas, berarti menutup peluang untuk turut memohonkan pengampunan dosanya.

Sekalipun sudah dishalatkan oleh sebagian kecil masyarakat Islam yang menyambutnya di Bandara Halim Perdanakusuma, namun masyarakat yang tinggal di dekat rumahnya tidak punya peluang untuk melakukan shalat Jenazah berjama’ah.

Oleh karena itu, untuk tidak menimbulkan kesan negatif berkenaan dengan prosesi pemakaman Taufiq Kiemas ini, maka perlulah keluarga besar Taufiq Kiemas menjelaskan pada masyarakat. Sehingga tidak memunculkan persepsi negatif bahwa kaum nasionalis tidak memperlakukan jenazah seseorang sesuai dengan ajaran agamanya. Ataukah, kaum nasionalis yang mengaku sebagai pendukung sejati Pancasila mempunyai doktrin sendiri tentang pengurusan jenazah, karena Pancasila memiliki tuhan yang berbeda dengan agama yang dianut bangsa Indonesia? Demikian dikutip dari sebuah situs, dengan judul tulisan “Perlakuan Istri terhadap Jenazah Taufiq Kiemas”.

Bukan Tradisi

Pertama-tama saya turut berbela sungkawa dan mengucapkan Innalillahi wainnaillahi raji’un atas wafatnya Bapak Taufiq Kiemas. Semoga, dengan berkat kasih sayang Allah SWT, beliau mendapat tempat yang terbaik di sisi-Nya. Amin.

Ada satu hal yang akan saya luruskan dari tulisan di atas. Yakni, “Dalam agama Islam, menshalatkan jenazah seorang muslim adalah fardhu kifayah, yaitu kewajiban bersama yang dapat diwakili oleh sebagian orang sehingga sebagian lainnya gugur kewajibannya. Apabila tidak ada yang menshalati, seluruh umat Islam menanggung dosa. Ini sudah merupakan tradisi yang dihargai oleh masyarakat muslim Indonesia, mungkin juga oleh umat agama lain di Indonesia.”

Kata-kata “Ini sudah merupakan tradisi yang dihargai oleh masyarakat muslim Indonesia” adalah tidak tepat. Menshalatkan jenazah seorang muslim itu adalah ajaran agama yang bersifat wajib yang hukumnya fardhu kifayah, bukan sekadar tradisi. Tradisi bisa saja tidak kita ikuti. Tapi kewajiban, harus diikuti.

Menimbulkan beberapa Pertanyaan

Selain itu, ada beberapa hal yang justru saya pertanyakan dari tulisan di atas.

Pertama, “Sebab bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, adalah hal yang aib manakala suatu keluarga yang tidak mensemayamkan anggota keluarganya yang meninggal di rumahnya sendiri.”

Benarkah apa yang dilakukan keluarga Ibu Mega itu adalah sesuatu yang membuat malu, tercela, noda, salah, atau keliru? Bukankah, sebagaimana ditulis dalam situs itu juga, bahwa, bilamana salah seorang anggota keluarga meninggal dunia, jenazahnya disemayamkan di rumah duka, itu “hanyalah” sebuah tradisi masyarakat Timur, terutama bangsa Indonesia yang beragama Islam? Apakah meninggalkan sebuah tradisi itu termasuk perbuatan aib? Bukankah tradisi itu, karena bukan merupakan kewajiban, bisa saja tidak kita ikuti?

Kedua, “Sebagai muslimah, sekalipun ketua partai nasionalis, seharusnya Megawati menghargai ajaran Islam yang mengajarkan supaya mengundang sebanyak mungkin orang yang ikut shalat Jenazah guna meringankan dosa di akhirat kelak.”

Benarkah apa yang dilakukan keluarga Ibu Mega itu tidak menghargai ajaran Islam? Bukankah, sekali lagi, bilamana salah seorang anggota keluarga meninggal dunia, jenazahnya disemayamkan di rumah duka, itu “hanyalah” sebuah tradisi? Bukankah apa yang dilakukan keluarga Ibu Mega itu sekadar tidak mengikuti tradisi?

Ketiga, “Oleh karena itu, untuk tidak menimbulkan kesan negatif berkenaan dengan prosesi pemakaman Taufiq Kiemas ini, maka perlulah keluarga besar Taufiq Kiemas menjelaskan pada masyarakat. Sehingga tidak memunculkan persepsi negatif bahwa kaum nasionalis tidak memperlakukan jenazah seseorang sesuai dengan ajaran agamanya.”

Apakah yang dilakukan keluarga Ibu Mega bisa menimbulkan kesan negatif bahwa kaum nasionalis tidak memperlakukan jenazah seseorang sesuai dengan ajaran agamanya? Bukankah, sekali lagi ditegaskan, mereka hanya tidak mengikuti tradisi? Bukankah tidak mengikuti tradisi tidak paralel dengan perbuatan negatif?

Perbandingan yang Ngawur

Khusus pertanyaan yang terakhir “Ataukah, kaum nasionalis yang mengaku sebagai pendukung sejati Pancasila mempunyai doktrin sendiri tentang pengurusan jenazah, karena Pancasila memiliki tuhan yang berbeda dengan agama yang dianut bangsa Indonesia?”, klausa kedua dalam kalimat itu, yakni “karena Pancasila memiliki tuhan yang berbeda dengan agama yang dianut bangsa Indonesia”, adalah klausa yang tidak memiliki logika yang kuat, atau bahkan ngawur.

Bagaimana tidak ngawur. Pancasila itu dasar negara, yang salah satu silanya adalah memang sila ketuhanan, yakni “Ketuhahan Yang Maha Esa”, tapi Pancasila itu sendiri buka agama. Ya, hanya logika yang ngawur yang membandingkan Pancasila dengan agama.

Sebagai dasar negara, Pancasila adalah pengayom, pengayom bagi kehidupan bernegara di negeri ini. Termasuk kehidupan beragama.

Shalat Ghaib

Ihwal menshalati jenazah (almarhum) Bapak Taufiq Kiemas, syari’at Islam mengajarkan shalat Ghaib. Yakni, shalat Jenazah yang dilakukan seseorang ketika jasad si mayit sudah dimakamkan, atau shalat yang dilakukan dari jarak yang jauh dari si mayit. Demikian ditulis tarekatqodiriyah.wordpress.com

Itulah yang dilakukan oleh para pengurus dan simpatisan PDI-P di daerah-daerah, seperti di Jawa Timur, Sumatera Utara, dan lain-lain.

Demikian juga para tetangga (almarhum) Bapak Taufiq Kiemas, mereka bisa melakukan shalat Ghaib untuk almarhum.

Walaupun diawali dengan kata “kepedulian”, yang nyatanya kemudian lebih banyak berisi “pertanyaan besar”, tulisan-tulisan di atas, saya rasakan sebagai pribadi, kurang menunjukkan empati. Empati terhadap keluarga yang baru saja ditinggal pergi selamanya salah satu anggota keluarganya.

(Majalah-Alkisah/Wednesday, 12 June 2013)

0 komentar:

Post a Comment