Membaca
trend perubahan harga saham bukan masalah mudah. Dibutuhkan kejelian dan
kecermatan tinggi dan kemampuan analisis tehnikal. Seorang investor terkadang
merasa yakin harga saham akan naik, tapi dalam faktanya justru terbalik harga
saham malah turun. Sebaliknya, tidak jarang investor memprediksi harga akan
turun, ternyata harga malah naik tinggi. Dan karena itu pula tidak jarang
investor terbenam dalam penyesalan akibat salah membaca arah pasar.
Jika kita memahami betapa rumit dan kompleksnya
sebuah pasar, maka sebenarnya kesalahan-kesalahan seperti itu normal-normal
saja. Sebab, yang namanya perubahan harga saham dipengaruhi oleh banyak faktor,
faktor internal dan eksternal. Faktor internal misalnya kondisi fundamental
perusahaan, kejadian penting di perusahaan atau aksi korporasi yang akan
dilakukan perusahaan atau afiliasinya. Sedangkan factor eksternal lebih
berkaitan dengan lingkungan pasar seperti kebijakan ekonomi, politik, perubahan
nilai mata uang, kejadian penting di sekitar pasar, dan lain-lain.
Begitu banyaknya faktor yang menentukan perubahan harga saham
di pasar maka sanagat wajar jika sesekali investor – bahkan fund manager –
sesekali melakukan kesalahan dalam memprediksi arah pasar. Jika investor selalu
bisa memprediksi arah pasar secara tepat, dan punya nyali untuk bertransaksi
maka bisa dipastikan ia akan selalu memenangkan ‘permainan’ di pasar. Ia akan
selalu meraih capital gain setiap hari. Tapi masalahnya tidak ada investor atau
fund manager yang punya kemampuan seperti itu.
Karena itu, salah satu tehnik yang banyak
dipergunakan agar tidak menyesali kesalahan yang terjadi dalam bertransaksi
adalah melalui tehnik penyampaian order. Dalam tehnik ini, investor biasanya
mengkalkulasi berapa dana yang dimiliki atau dialokasikan untuk membeli saham
yang dipilihnya. Ketika, ia sudah berketetapan hati akan membeli saham ABC
misalnya, maka ia tidak langsung menghabiskan semua dana untuk mengajukan order
di satu harga. Tapi, ia akan memasang order di beberapa harga.
Ilustrasinya begini. Saham ABC tadi misalnya sedang
ditransaksikan di harga Rp 1.200. Investor memprediksi bahwa harga saham akan
turun ke level Rp 1.100. Lantas, iapun memasang order beli di Rp 1.100. Tapi
tidak semua dana yang dialokasikan tadi dihabiskan untuk order beli di Rp 1.100.
Untuk menghindari kesalahan prediksi dan supaya tidak menyesal, investor juga
memasang order jual di Rp 1.050 dan Rp 1.000.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa investor memasang order
beli di tiga harga yakni Rp 1.100, Rp 1.050 dan Rp 1.000. Dengan begitu, jika
harga saham ternyata turun hingga Rp 1.000 maka investor tidak terlalu
menyesali keputusannya membeli di Rp 1.100 karena rata-rata harga pembelian
pembelian mungkin saja di Rp 1.050. Jika harga saham ribbon ke Rp 1.100 saja
maka investor sudah mendapatkan capital gain. Penyebaran order beli seperti ini
dikenal juga sebagai strategi rata-rata (everaging cost).
Teknik semacam ini juga bisa diterapkan untuk order jual,
bagi investor yang sudah memiliki portofolio. Artinya, order jual tidak langsung
sekaligus di satu harga, tetapi dilakukan secara bertahap. Misalnya, investor
memiliki saham XYZ sebanyak 200 lot. Saat itu saham XYZ ditransaksikan di Rp
1.000. Nah, agar tidak ternyadi penyesalan akibat salah memprediksi pasar maka
investor mengajukan order bertahap. Misalnya menjual di Rp 1.000 sebanyak 50
lot, Rp 1.100 sebanak 50 lot, Rp 130 sebanyak 50 lot dan Rp 1.150 sebanyak 50
lot. Jika harga naik hingga Rp 1.150, investor tidak menyesal menjual sahamnya
di Rp 1.000 karena rata-rata penjualan di atas Rp 1.050. Dari sini tampak bahwa
order transaksi merupakan bagian dari strategi investasi jangka pendek. (Tim
BEI)