Kesalahan adalah keburukan
yang sering dilakukan oleh manusia. Rasulullah bersabda, “Setiap anak Adam (yakni: manusia-ed) pernah melakukan kesalahan,
dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR.
al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman dan
yang lainnya)
Mengenal kesalahan itu penting. Mengapa? Hal ini bisa
menjadi sarana untuk menyadarkan pelaku sehingga bertaubat atas
penyimpangannya. Juga sebagai peringatan agar tidak terjerumus ke dalam
penyimpangan. Bukankah banyak kita saksikan orang yang bertaubat setelah tahu
bahwa apa yang ia lakukan sebelumnya adalah suatu kesalahan?
Hudzaifah bin al-Yaman
pernah bertanya tentang keburukan dengan tujuan mulia. Ia berkata, “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan sementara
aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena khawatir hal tersebut akan
menimpaku” (HR. al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra)
Kali ini kita ketengahkan 7 contoh kesalahan terkait
masalah akidah yang boleh jadi kita atau saudara kita kaum muslimin di penjuru
negeri Indonesia ada yang belum mengetahuinya. Harapannya adalah semoga Allah
membuka pintu hati kita untuk menyadarinya dan kembali ke jalan yang benar.
1. Istighatsah (Meminta
Bantuan) kepada Orang yang Sudah Mati.
Misalnya, ketika mengalami kesusahan, seseorang mengatakan, “Wahai syaikh Abdul
Qadir Jaelani, bantulah aku.” Ini merupakan kesalahan karena istighatsah adalah
ibadah yang tidak semestinya dilakukan kecuali kepada Allah. Allah berfirman,
yang artinya, “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan
kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu” (QS. al-Anfal:
9). Ubadah bin Shamit berkata, “Abu Bakar berkata, ‘Bangkitlah kalian kita
lakukan istighatsah kepada Rasulullah karena ulah si munafiq ini.’” (Mendengar
hal ini) Maka Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya istighatsah itu
bukan kepadaku, tapi istighatsah itu hanya dilakukan kepada Allah azza wajalla
saja” (Majma’u az-Zawaid wa Manba’u al-Fawaid, al-Hafidz
al-Haitsami)
2. Membenarkan Dukun
Ini adalah kesalahan. Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa datang kepada peramal atau dukun lalu membenarkan apa
yang diucapkannya, maka ia telah kufur dengan apa yang diturunkan kepada
Muhammad.”(HR. Ahmad dan al-Hakim)
3. Menyembelih Karena Jin
Ada orang pergi ke dukun untuk berobat. Dukun itu meminta seekor hewan dengan
sifat tertentu (seperti, ayam hitam mulus) dan sejenisnya untuk disembelih lalu
darahnya dilumurkan pada orang yang sakit, untuk meminta keridhaan jin. Ini
diharamkan, dan pelakunya dilaknat, Nabi bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ
“Allah melaknat siapa yang
menyembelih karena selain Allah.”(HR.Muslim)
4. Meminta Syafa’at dari
selain Allah
Misalnya, meminta syafa’at kepada nabi atau wali, dengan mengatakan, “Wahai
Rasulullah, berilah syafa’at kepadaku”. Atau, “Wahai para wali Allah, berilah
syafa’at kepadaku.” Ini kesalahan, karena syafa’at itu hanya milik Allah dan
untuk siapa yang diberi ijin oleh-Nya. Allah berfirman, artinya, “Bahkan mereka mengambil pemberi syafa’at selain Allah.
Katakanlah: “Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki
sesuatu pun dan tidak berakal?” (QS. az-Zumar: 43)
5. Keyakinan dalam ungkapan
Berikut ini contoh ungkapan yang dikatakan bertuah bila diucapkan sekian kali,
اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّم سَلاَماً
تاَماً عَلَى سَيِدِناَ مُحَمَّدٍ الَّذِي تَنْحَلُ بِهِ العُقَدُ وَتَنفَرِجُ
بِهِ الكُرَبُ وَتُقضَى بِهِ الحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَغَائِبُ وَحُسْنُ
الخَوَاتِيمِ وَيُسْتَسقَى الغَمَامُ بِوَجهِهِ الكَرِيمِ وَعَلَى آلِهِ
وَصَحْبِهِ عَدَدَ كُلِّ مَعْلُومٍ لَكَ
Allahumma shalli shalatan
kamilatan Wa sallim salaman taman ‘ala sayyidina Muhammadin Alladzi tanhallu
bihil ‘uqadu, wa tanfariju bihil kurabu, wa tuqdha bihil hawa-iju Wa tunalu
bihir ragha-ibu wa husnul khawatimi wa yustasqal ghamamu bi wajhihil karimi, wa
‘ala alihi, wa shahbihi ‘adada kulli ma’lumin laka.
Artinya, “Ya Allah, limpahkanlah pujian yang sempurna dan juga keselamatan
sepenuhnya, kepada pemimpin kami Muhammad, yang dengan sebab beliau
ikatan-ikatan (di dalam hati) menjadi terurai, berkat beliau berbagai kesulitan
menjadi lenyap, berbagai kebutuhan menjadi terpenuhi, dan dengan sebab
pertolongan beliau pula segala harapan tercapai, begitu pula akhir hidup yang
baik didapatkan, berbagai gundah gulana akan dimintakan pertolongan dan jalan
keluar dengan perantara wajahnya yang mulia, semoga keselamatan juga tercurah
kepada keluarganya, dan semua sahabatnya sebanyak orang yang Engkau ketahui
jumlahnya.”
Syaikh Muhammad Jamil
Zainu berkata,“Sesungguhnya akidah tauhid yang diserukan al-Qur’an al-Karim dan
diajarkan Rasulullah kepada kita mewajibkan setiap muslim untuk meyakini bahwa
Allah semata yang berkuasa untuk melepaskan ikatan di dalam hati, menyingkirkan
kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan permintaan orang yang
sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh berdoa
kepada selain Allah demi menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya
meskipun yang diserunya adalah malaikat atau Nabi yang dekat (dengan Allah).
Al-Qur’an ini telah mengingkari perbuatan berdoa kepada selain Allah baik
kepada para rasul ataupun para wali. Allahkberfirman, artinya,“Bahkan sesembahan yang mereka
seru (selain Allah) itu justru mencari kedekatan diri kepada Rabb mereka dengan
menempuh ketaatan supaya mereka semakin bertambah dekat kepada-Nya dan mereka
pun berharap kepada rahmat-Nya serta merasa takut akan azab-Nya. Sesungguhnya
siksa Rabbmu adalah sesuatu yang harus ditakuti.”(QS. al-Isra’:
57). Para ulama Tafsir mengatakan ayat ini turun terkait dengan mereka yang
berdoa kepada Isa al-Masih, memuja malaikat atau jin-jin yang shalih
(sebagaimana diceritakan Ibnu Katsir).”
“Bagaimana Rasul bisa merasa ridha kalau beliau dikatakan sebagai orang yang
bisa melepaskan ikatan hati dan bisa melenyapkan berbagai kesusahan padahal al-Qur’an
saja telah memerintahkan beliau untuk berkata tentang dirinya, artinya, “Katakanlah: Aku tidak berkuasa atas manfaat dan madharat bagi
diriku sendiri kecuali sebatas apa yang dikehendaki Allah. Seandainya aku
memang mengetahui perkara ghaib, maka aku akan memperbanyak kebaikan dan tidak
ada keburukan yang akan menimpaku. Se- sungguhnya aku hanyalah seorang pemberi
peringatan dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS.
al-A’raf :188)
Ada seseorang yang datang
menemui Rasulullah dan berkata, “Atas kehendak Allahdan kehendakmu wahai Rasul”, maka beliau
menghardiknya sambil berkata, “Apakah kamu ingin menjadikan
aku sebagai sekutu bagi Allah? Katakan: Atas kehendak Allah semata.” (HR.
an-Nasa’i dengan sanad hasan)
Seandainya kita ganti
kata bihi
(بِهِ)
(dengan sebab beliau) dengan biha
(بِهَا)
(dengan sebab shalawat) maka tentulah maknanya akan
benar. Bacaannya menjadi seperti ini,
اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّم سَلاَماً
تاَماً عَلَى سَيِدِناَ مُحَمَّدٍ الَّتي تُحِلُ بِهَا العُقَد
Allahumma shalli shalatan
kamilatan wa sallim salaman tamman ‘ala sayyidina Muhammadin Allati tuhillu
bihal ‘uqadu (yang ikatan-ikatan
hati menjadi terlepas karena shalawat)
Ini benar, karena shalawat kepada Nabi adalah ibadah yang
bisa dijadikan sarana untuk bertawassul memohon dilepaskan dari kesedihan dan
kesusahan.
6. Meramalkan Sial Karena
Mendengar Suara Burung
Sebagian orang, ketika mendengar suara burung hantu, mengatakan, “Semoga
baik-baik saja, siapa yang mati pada hari ini? Apa yang bakal terjadi hari ini?
Ini kesalahan, karena Rasulullah bersabda, “Thiyarah (meramalkan kesialan)
adalah syirik.” (HR. Abu Dawud dan lainnya).
7. Mengusap Kuburan untuk
Mencari Keberkahannya
Ada orang yang pergi ke kuburan para wali atau orang shalih untuk mengusapnya
dan mencari keberkahannya. Ini adalah kesalahan. Abu Waqid al-Laitsi berkata,
“Kami keluar bersama Rasulullah ke Hunain dan kami masih baru masanya dengan
kekafiran (baru masuk Islam-red), sedangkan kaum musyrik memiliki sebuah pohon
bidara yang mereka biasa beri’tikaf di sisinya dan menggantungkan senjata
mereka padanya sehingga disebut Dzatu Anwath. Kami
berkata ketika melewati pohon itu, “Wahai Rasulullah, buatlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath. Mendengar itu beliau
bersabda, “Allahu akbar! Inilah sunnah-sunnah
(tradisi-tradisi itu). Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh
kalian telah mengatakan sebagaimana yang pernah dikatakan Bani Israil kepada
Musa; Buatkanlah tuhan untuk kami sebagaimana mereka memiliki beberapa tuhan.
“Musa menjawab, sesungguhnya kalian adalah kaum yang bodoh.” (HR.
at-Tirmidzi dan Ahmad).
Ibnu Hajar al-Haitami
asy-Syafi’I berkata, “Dosa besar ke 93, 94, 95, 96, 97, dan 98 adalah
menjadikan kuburan sebagai masjid, menyalakan api (penerangan) di kuburan,
menjadikan kuburan sebagai berhala, thawaf, mengusap-usap kuburan, dan shalat
ke arah kuburan.” (Az-Zawajir ‘an iqtiraf al-Kabair, 1/154).
Imam an-Nawawi menukil kesepakatan ulama tentang
dilarangnya mengusap kuburan Nabi dalam rangka mencari barakah. Beliau berkata,
“Tidak boleh thawaf di kuburan Nabi, dan dibenci menempelkan perut dan punggung
di dinding kuburan, hal ini telah dikatakan oleh al-Halimy dan yang selainnya.
Dan dibenci mengusap kuburan dengan tangan dan dibenci mencium kuburan…”
“Sungguh yang mulia
al-Fudhail bin ‘Iyadh telah berbuat baik dalam perkataannya,“Ikutilah jalan
petunjuk dan tidak masalah jika jumlah pengikutnya yang sedikit…Barangsiapa
yang terbetik di benaknya bahwa mengusap-usap kuburan dengan tangan dan
perbuatan yang semisalnya lebih berkah, maka ini karena kebodohan dan
kelalaiannya, karena keberkahan itu pada sikap mengikuti syariat dan perkataan
para ulama. Bagaimana mungkin keutamaan bisa diraih dengan menyelisihi
kebenaran??” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 8/257)
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Post a Comment